Kamis, 31 Oktober 2019

Imbas Perang Bubat Antara Majapahit dan Pajajaran



Perang Bubat terjadi pada tahun 1279 Saka atau pada tahun 1357 M di abad ke 14, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dalam sejarah kerajaan Majapahit. Terjadinya perang hal yang demikian pengaruh adanya konflik antara Gajah Mada dan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Perang terletak di Pesanggrahan Bubat yang kini berada di Propinsi Jawa Timur, mengakibatkan segala rombongan Sunda tewas. Pada dikala itu Raja Hayam Wuruk berniat untuk menikahi putri Raja Linggabuana adalah Dyah Pitaloka Citraresmi. Kerajaan Pajajaran menjalankan perjalanan ke Majapahit, tetapi di tengah perjalanan rombongan mereka dihentikan oleh Gajah Mada yang menduga mereka hendak menyerah terhadap Majapahit. Sebab kesalah pahaman Gajah Mada hal yang demikian karenanya pertempuran tak terhindarkan. Kenal juga mengenai peninggalan sejarah Majapahit yang sedikit banyak dapat menolong membongkar asal usulan nusantara.


Pengaruh Perang Bubat

Imbas perang bubat masih bisa dinikmati malah hinggga zaman kini ini. Kematian segala member rombongan kerajaan Pajajaran hal yang demikian menyisakan kesedihan mendalam bagi rakyatnya adalah masyarakat Sunda, sehingga timbul larangan untuk menikah dengan orang Jawa. Sampai kini mitos hal yang demikian masih ada dan diandalkan beberapa masyarakat, terlebih yang masih berdiam di pelosok. Konon sekiranya dilaksanakan, karenanya pernikahan antara orang Sunda dan Jawa tak akan harmonis. Raja Linggabuana digantikan oleh Pangeran Niskalawastu Kancana, adik dari Dyah Pitaloka yang tinggal di istana Kawali dan tak ikut serta ke Majapahit. Dialah yang mengeluarkan larangan estri ti luaran, yang berisi aturan mengenai tak boleh menikah dengan orang luar lingkungan kerabat Sunda lebih-lebih pihak Majapahit.
Imbas perang bubat lainnya merupakan sosok Gajah Mada dan Hayam Wuruk yang tak disukai oleh masyarakat Sunda, sehingga tak ada nama jalan di tempat Sunda yang diwujudkan menurut nama kedua tokoh hal yang demikian. Semacam juga sebaliknya, di kawasan bekas kerajaan Majapahit tak ada nama jalan Siliwangi atau jalan Pajajaran.
Gagalnya Majapahit menundukkan Pajajaran juga mengakibatkan terjadinya pengaruh dari perang bubat berupa kegagalan sumpah palapa dari Gajah Mada. Rakyat Sunda malah jadi memusuhi Majapahit dan tak berkeinginan berprofesi sama dengan orang Jawa sebab mitos kuno yang beredar.
Meski Raja Linggabuana merupakan pemimpin yang dipuja oleh masyarakat Sunda dan diberikan julukan sebagai Prabu Wangi berkat keberaniannya melawan pasukan Majapahit, pengaruh dari perang bubat membikin raja yang malah lebih termasyhur lagi timbul sebagai substitusinya. Putra dari Linggabuana yang tak ikut serta dalam rombongan kemudian diberikan kehormatan sebagai raja bergelar Prabu Siliwangi, yang berarti keturunan raja yang harum namanya. Prabu Siliwangi kemudian tercatat sebagai salah satu raja paling tenar dalam sejarah Indonesia dan sejarah kerajaan Pajajaran.
Imbas perang bubat dikala itu walhasil merenggangkan kekerabatan Gajah Mada dengan Hayam Wuruk, sebab Dyah Pitaloka ikut serta menjadi korban dan membikin Hayam Wuruk patah hati. Para pejabat dan ningrat Majapahit mencerca Gajah Mada sebab tindakannya yang ceroboh hal yang demikian, terlalu lancang dan tak memedulikan perasaan rajanya.
Kedudukan Gajah Mada semenjak dikala itu mulai menurun di mata Hayam Wuruk sebagai pengaruh perang bubat hal yang demikian. Hayam Wuruk memberinya tanah di Madakaripura (Probolinggo), yang bisa diistilahkan sebagai saran halus supaya Gajah Mada mulai memutuskan untuk pensiun. Tanah yang berlokasi jauh dari ibukota Majapahit ini membikin Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik Majapahit. Dapat disimpulkan bahwa Hayam Wuruk tak lagi terlalu mempercayai Gajah Mada dan tak terlalu tergantung lagi kepadanya seperti sebelum pertempuran hal yang demikian. Semenjak momen itu Hayam Wuruk lebih terlibat dalam pemerintahan dan berupaya mengambil keputusan sendiri.
Hayam Wuruk membentuk suatu cara pemerintahan baru yang membikin penguasa bisa aktif secara seketika, dan minta pertimbangan dari keluarga dan pejabat senior sebelum mengambil keputusan penting. Dia juga mulai menjalankan perjalanan ke bermacam tempat untuk mengenal situasi masyarakatnya.
Rakyat menjadi terkesan dengan cara pemerintahan Hayam Wuruk yang lebih terbuka, meskipun Gajah Mada konsisten menjabat sebagai mahapatih tetapi kekuasaannya tak lagi sebesar dahulu.
Relasi antara kedua negara juga tak pernah pulih semenjak kejadian hal yang demikian selama bertahun – tahun kemudian. Relasi diplomatik antara kedua negara diputus oleh Prabu Siliwangi, substitusi Raja Linggabuana.
Kekeliruan Gajah Mada

Perbuatan Gajah Mada yang memunculkan pengaruh perang bubat sampai berabad – abad kemudian dilatari oleh Sumpah Palapa yang dibuatnya sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Dari segala kerajaan yang telah dibatasi Majapahit, cuma kerajaan Sunda yang belum pernah dibatasi. Sebab itu Gajah Mada meyakinkan Hayam Wuruk untuk menganggap kedatangan rombongan Sunda sebagai wujud penyerahan diri terhadap Majapahit. Hayam Wuruk didesak untuk mendapatkan Dyah Pitaloka sebagai pertanda penyerahan kerajaan Sunda dan pengakuan akan kekuasaan Majapahit atas Sunda.

Raja Linggabuana dan rombongannya walhasil sepakat untuk menikahkan putrinya di Majapahit sebab menganggap memang masih ada ikatan persaudaraan antara dua kerajaan hal yang demikian. Mereka diterima di Pesanggrahan Bubat di kawasan Majapahit. Mereka cuma membawa sedikit prajurit saja. Dikala Gajah Mada menyajikan niatnya hal yang demikian, utusan Linggabuana kaget dan murka serta menolak. Sebelum Hayam Wuruk memberikan perintah, Gajah Mada telah mengerahkan pasukannnya ke Bubat dan mengancam Linggabuana supaya ingin mengakui kekuasaan Majapahit. Peperangan terjadi sebab Linggabuana menolaknya, dan suatu peperangan yang tak berimbang sebab pasukan Linggabuana berjumlah kecil, cuma terdiri dari pasukan pengawal kerajaan, para pejabat dan menterinya saja.


Akhir pertempuran telah dapat diterka, Raja Sunda dan pengikutnya gugur. Cocok kultur, putri Dyah Pitaloka menjalankan bela pati adalah perbuatan bunuh diri untuk membela kehormatan bangsanya. Perbuatan ini layak dengan tata perilaku dan poin yang dianut oleh kasta ksatriya. Para perempuan kasta ksatriya akan bunuh diri sekiranya kaum laki – lakinya gugur untuk membela harga diri dan melindungi kesucian diri mereka, menghindari kemungkinan dipermalukan, pemerkosaan, penganiayaan, atau resiko diperbudak. Kenal juga mengenai sejarah candi kedaton , candi di Mojokerto dan sejarah candi jabung.